Wednesday, 17 September 2014

Sepatu Sang Raja




Kisah itu bercerita tentang seorang raja. Ia raja yang baru naik tahta. Sebagai raja yang baik, program pertama yang dicanangkannya adalah berkeliling ke seluruh negeri untuk mengetahui keadaan rakyatnya sekaligus mengecek wilayah kekuasaannya.

Nah, mulailah ia mengarungi gunung dan segenap lembah negerinya. Ia bertatap muka dengan rakyatnya yang hidup di ujung pantai. Ia bersambung rasa dengan rakyatnya yang tinggal di pelosok hutan.

Saat kembali ke istana, sang raja merasa sangat lelah. Kakinya nyeri. Ini akibat perjalanan yang ditempuhnya begitu panjang dan bermedan berat. Dan itu benar-benar ditapaki dengan telapak kaki sang raja sendiri. Ia tidak mau tandu. Maklum, ia ingin merasakan juga apa yang dirasakan oleh prajurit-prajurit yang berjalan mengiringnya dalam perjalanan itu.

Perjalanan itu bukanlah perjalanan pertama dan yang terakhir. Sang raja telah berjanji akan selalu berkeliling dan mendekat kepada rakyatnya. Tapi, nyeri kaki yang dirasakannya membersitkan ide untuk tidak akan melakukan tur seperti itu lagi. Hati kecil sang raja menolak. Tidak. Bukan begitu. Itu tidak bijaksana.

Sambil memijit-mijit kakinya yang sakit, sang raja berpikir keras. Bagaimana caranya bisa berjalan jauh tanpa perlu merasakan nyeri di kaki? Aha, dia menemukan jawabannya. “Kalau saja jalan-jalan yang aku lalui dilapisi kulit dan permadani, tentu kakiku akan merasa nyaman,” begitu gumamnya.

Segera raja itu memerintahkan para prajuritnya untuk melapisi jalan dengan kulit. Semua jalan, tanpa kecuali. Namun, sebelum proyek besar itu dilaksanakan, penasehat raja menginterupsi.

“Tuanku, jika rencana itu dilaksanakan kita akan memerlukan banyak sekali kulit dan permadani. Biayanya besar. Akibatnya, menguras keuangan negara. Jelas itu bukan keputusan yang bijak,” kata sang penasihat raja.

Sang raja tertegun mendengar bantahan atas titah pertamanya itu. Tapi, karena ingin mewarisi kebijakan raja-raja pendahulunya, ia mencoba berlapang dada.

“Lalu, apa pendapatmu tentang hal ini?” tanya sang raja.

Sang penasihat bangkit dari tempat duduknya, mendekat ke singgasana raja.

“Tuanku, mengapa Anda harus mengeluarkan begitu banyak biaya hanya untuk kenyamanan kaki Anda? Alangkah hematnya jika Anda potong sedikit kulit lalu lapiskan ke kaki Anda?” kata si penasihat bijak.

Raja terkejut. Itu ide cerdas. Raja setuju. Ia batalkan proyek melapisi jalan dengan kulit. Ia perintahkan seorang pandai melapisi alas kakinya dengan kulit. Ya, sang raja memilih membuat “sepatu” untuk mengatasi rasa nyeri akibat perjalanan mengunjungi rakyatnya.

Teman, ada pelajaran yang menarik dari kisah di atas. Untuk membuat dunia menjadi tempat yang nyaman untuk hidup, tidak perlu dengan jalan mengubah dunia. Kadang cukup dengan mengubah cara pandang kita saja. Karena, segala ketidaknyamanan yang kita rasakan seringkali berasal dari kekeliruan kita dalam menafsirkan dunia.

Sumber: Islampos

Kambing Seharga 1 Dirham





PADA suatu kesempatan lain, Rasulullah SAW memasuki sebuah pasar yang kanan dan kirinya ramai dipadati manusia. Ketika itu beliau melewati seekor anak kambing cacat yang telah menjadi bangkai. Tidak seorangpun mengacuhkan atau tertarik melihatnya.

Lantas Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Siapa yang mau membeli kambing ini dengan harga satu dirham?”

Sahabat menjawab, “Sedikitpun, kami tidak menginginkannya.”

Beliau bertanya sekali lagi, “Apakah kalian mauu jika anak kambing ini keberikan kepada kalian?”

Sahabat menjawab, “Demi Allah, kalaupun anak kambing itu hidup, kami tidak akan menerimanya karena cacatnya, maka bagaimana kami mau menerimanya setelah menjadi bangkai?”

Mendengar itu Rasulullah SAW berkata, “Demi Allah, pandangan dunia itu lebih hina dalam pandangan Allah daripada bangkai kambing cacat ini dalam pandangan kalian.”

sumber: Islampos

Pesan Si Penjual Pulpen



“BERAPA keuntungan yang Bapak hasilkan dari jualan pulpen ini, Pak?” tanya si Faqir.

Dengan senyum dari bibirnya yang kering dia balik bertanya, “Berapa ayat al-qur’an dan hadist rasul-Nya yang kauhafal serta apa hasil yang kaudapatkan, Nak?”

Tiba-tiba si Faqir tertunduk dan terdiam..

Si penjual pulpen mengangkat kepalanya serempak dengan si Faqir, empat mata bertemu dan pembicaraan berubah menjadi lebih serius.

“Bapak kenapa harus bekerja keras seperti ini? Berada di bawah terik yang panas dan di pinggir jalan yang banyak debu, apakah tidak ada pekerjaan lain yang bisa Bapak lakukan agar dahaga tidak terlalu kuat mengikat leher Bapak?”

Senyum si penjual pulpen terlihat lagi seraya menyampaikan pesan. Pesan yang sangat amat “PENTING” sekali.

“Nak, tahukah kamu bahwa sesungguhnya Allah adalah ‘SUTRADARA TERBAIK’ dalam kehidupan ini? Tidakkah kamu sadari pertemuan kita ini salah satu alur dari cerita yang Dia atur? Aku sangat bahagia nak, sama sekali tidak ada kesedihan yang menyelimuti hari-hariku, bersyukur dengan apa yang ada padaku, gembira dalam pekerjaanku, aku selalu memulai hari dengan nama Allah, lihatlah aku duduk tanpa sandaran, aku menyandarkan segala urusanku kepada nama yang ku ucapkan setiap memulai hari-hariku.”

“Saya juga heran kenapa bapak selalu senyum,” tutur si Faqir.

“Lihatlah sekelilingmu, Nak, berapa banyak manusia yang memiliki wajah tapi enggan untuk mengikuti ajakan Rasul, padahal hanya sebuah senyuman. Senyum memperkaya kebahagiaan tanpa mengurangi sedikitpun apa yang kita miliki, Nak.”

Karena ekstremnya panas di siang itu, baju si Faqir mulai basah dengan dahi mengerut.

Si Faqir mengulangi pertanyaan yang sama seperti diawal pertemuannya.

“Kenapa harus berjualan pulpen, Pak?”

“Saya tidak bisa mengajar nak, saya tidak kuliah, tidak bisa mempengaruhi orang dengan gaya seperti ini. Karena saya sadar kekuarangan itu, saya punya inisiatif seperti ini, biarlah pulpen-pulpen ini menjadi alat untuk para pecinta ilmu, saya berharap pulpen ini bisa meluaskan ayat-ayat Allah dan pesan-pesan Rasul-Nya.”

“Saya beli pulpennya, Pak”, sahut si Faqir.

“Ambillah, Nak,” sahutnya dan kembali bicara. “Sederhana saja nak, JIKA KAMU TIDAK BISA MENJADI BUAH SEPERTI YANG BANYAK ORANG SUKAI, MAKA JADILAH AKAR YANG SELALU MENCARI AIR DAN MENCAKAR TANAH AGAR BUAH YANG ORANG INGINKAN SELALU ADA DAN BISA DINIKMATI.”

sumber: islampos

Adzan Jam 10 Malam



Suasana sebuah kampung tiba-tiba heboh, karena persis jam 22.00 terdengar adzan berkumandang dari sebuah mushalla setempat lewat pengeras suara yang memecah keheningan malam.
Suara pengumandang adzan yang tak kalah gontai membuat warga berbondong-bondong mendatangi mushalla itu meski mereka sudah tahu siapa yang melakukannya;

Mbah Sadi,yang umurnya sudah menembus kepala tujuh.
Yang membuat kepala warga dipenuhi pertanyaan, mengapa Mbah Sadi adzan pada jam sepuluh malam ?

Ketika warga sampai di pintu mushalla, Mbah Sadi baru selesai adzan dan mematikan sound system.

“Mbah tahu gak, jam berapa sekarang?” cecar Pak RT sambil menunjuk jam dinding mushalla.
“Adzan apa jam segini, Mbah?”
“Jangan-jangan Mbah sudah ikut aliran sesat,” sambar Yoso dengan nada prihatin.

“Sekarang banyak banget aliran macem-macem. Bahaya kalau kampung kita sudah kena.” lanjutnya.

“Ah, dasar Mbah Sadi sudah gila,” sahut Joni, mantan preman yang sudah mulai insaf dan berusaha menghilangkan tato di pangkal lengannya dengan setrika panas.

“Kalau nggak gila, mana mungkin adzan jam segini?” sambungnya sambil menyilangkan jari telunjuk di keningnya ke arah warga yang riuh berkomentar macam-macam mengomentari laku aneh Mbah Sadi.

“Kalian ini ......,” jawab Mbah Sadi tenang.
“Tadi, waktu saya adzan Isya, nggak satu pun yang datang kemari. Sekarang saya adzan jam 10 malam, kalian malah berbondong-bondong ke mushalla. Satu kampung lagi. Kalo gitu... SIAPA YANG GILA.... coba?”sambil berteriak ke arah warga.

Warga pun ngeloyor pulang satu persatu tanpa protes lagi. Termasuk Pak RT yang melipir menjauh, perlahan-lahan, tak berani melihat wajah Mbah Sadi.

MORAL STORY :

Lebih baik dianggap GILA karena menghidupkan kebaikan,
Daripada menjadi yang merasa NORMAL tapi dalam kelalaian.

Sumber: facebook